Kamis, Juli 06, 2006

PETI Sebabkan Tebing Runtuh

15 June 2006, Kompas Online
Kerusakan lingkungan akibat penambangan emas tanpa izin di sepanjang Sungai Batanghari tak hanya menyebabkan pencemaran air dengan logam berat merkuri, tetapi juga menyebabkan tebing sungai runtuh. Dampak lainnya adalah terjadi pendangkalan alur Sungai Batanghari.

Menurut pengamatan Kompas, Senin (12/6) dan Selasa (13/6) di sepanjang badan sungai antara Muara Tebo sampai Muara Bulian, lebih kurang 300 kilometer, tebing-tebing dengan ketinggian puluhan meter sudah runtuh ke badan sungai. Bahkan, banyak pohon tumbang dan masuk ke sungai sehingga memunculkan danau-danau kecil di tepian Sungai Batanghari. Hal itu, misalnya, terlihat di Desa Pulau Napal, Betung Bedarah, Sungai Bengkal, Maro Sebo Ulu, dan Mersam.

Longsoran tebing dan penyedotan lumpur menyebabkan sungai dangkal. Di sejumlah lokasi juga terdapat gundukan pasir dan kerikil akibat pengeboran dasar sungai sehingga perahu tak bisa melintas dan harus berputar ke bagian sungai yang dalam.

"Sekitar lima tahun lalu kondisi Sungai Batanghari tak seperti ini. Tak ada gundukan pasir di tengah sungai," kata Abdurrahman (51), pengemudi motor air yang tiap hari melintas di sana.

Maraknya, penambangan emas tanpa izin (PETI) memang telah merusak ekologi Batanghari secara cepat. Kompas menghitung, sedikitnya ada 600 PETI di sepanjang Sungai Batanghari, mulai Muara Tebo hingga Muara Bulian. Sebagian besar penambangan memang dilakukan di tengah badan sungai, tetapi ada yang di pinggir atau tebing sungai. "Dulu penambangan banyak dilakukan di tepi sungai sehingga menyebabkan banyak tebing longsor," tutur Abdurrahman.

Turun 70 persen

Dari Riau dilaporkan, nelayan di Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, mengeluhkan sulitnya mendapatkan ikan di perairan Rokan Hilir yang tembus hingga ke Selat Malaka. Kawasan yang pernah dinobatkan sebagai penghasil ikan terbesar nomor dua sedunia pada tahun 1980-an itu kini merana karena kondisi lautnya yang kian tercemar dan mengalami pendangkalan.

"Pencarian ikan semakin sulit sejak lima tahun terakhir atau setelah masa reformasi. Hasil tangkapan dan industri berkurang hingga 70 persen. Selain lautnya mendangkal, kawasan ini banyak diserbu nelayan dari daerah lain yang menggunakan peralatan lebih canggih. Pencurian ikan dengan fishnet (jaring besar) pun makin marak. Banyak pemilik kapal besar dan pengusaha ikan segar maupun ikan asin kini gulung tikar," kata Jamal, pengusaha ikan asin di Bagansiapiapi, Rabu (14/6).

Menurut pengamatan Jamal, saat ini hanya tersisa sekitar lima pabrik pembuatan ikan asin. Padahal pada tahun 1980-an hingga memasuki tahun 2000, terdapat lebih dari 30 pabrik.

Setiap pabrik mampu menghasilkan beberapa jenis ikan asin, antara lain jenis ikan layur, ikan duri, ikan bulu ayam, dan ikan lambung. Sedikitnya 15 ton ikan asin dari setiap jenis ikan tersebut dihasilkan setiap minggu. Komoditas ini dipasarkan ke Medan, Pekanbaru, hingga Jakarta. Beberapa komoditas berkualitas tinggi bahkan diekspor ke Malaysia dan Singapura.

Sejak awal tahun 1900-an Bagansiapiapi sudah dikenal sebagai daerah penghasil ikan terbesar. Dalam satu tahun hasil tangkapan ikan nelayannya mencapai 150.000 ton. Ekspor hasil laut juga menjadi usaha yang banyak diminati dan berkembang sebagai salah satu pilar ekonomi rakyat. Namun, dalam empat tahun terakhir di daerah itu banyak pencurian ikan. Alat yang digunakan pencuri ikan pun canggih sehingga menyapu habis segala jenis ikan di sana, termasuk telur ikan, udang, bahkan ikan teri. Terumbu karang yang masih muda pun terjaring olehnya.

Menurut data Dinas Perikanan Kabupaten Rokan Hilir, tahun 2000-2003 produktivitas ikan tangkap laut masih berkisar 70.000 ton per tahun. Namun, pada tahun 2004 produktivitas ikan tangkap laut hanya mencapai 32.989 ton. Akibat berkurangnya tangkapan ikan, terjadi penurunan jumlah nelayan dari sekitar 100 nelayan menjadi 40-an saja. (nat/aik/nal/lkt/fer/nel)
http://www.terranet.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Anda Berkomentar.